Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku[1][2]
(Hal-76) Seharusnya kita
mengerti adanya perbedaan mendasar, antara bekerja dan menerima upah bekerja
antara sesama manusia, dengan bekerja lalu menerima pahala antara manusia dan
Allah swt. Sebagian orang rancu menganggap beramal atau bekerja dalam hubungan
antar manusia, sama dengan beramal dalam hubungan dirinya dengan Allah swt.
(Hal-77) Saudaraku,
Jika itu bagian dari anggapan kita, berarti kita ungkapan dalam pikiran
kita adalah, “Allah akan membalas pahala kepadaku, karena aku telah melakukan
amal shalih sesuai perintah-Nya.” Dan bila itu yang terjadi, itulah yang
dikatakan mengandalkan amal, bukan mengedepankan Allah swt saat kita beramal.
Mari kita kaji lebih jauh masalah ini. Para salafushalih memiliki
pandangan yang begitu dalam tentang hubungan amal seseorang dengan harapan
penuh kepada pahala yang akan Allah berikan kepadanya. Dalam kitab Al Hikam
tulisan Ibnu Athailah misalnya, is mengatakan,”Termasuk tanda seseorang yang
bersandar pada amalnya, adalah sikap kurang memiliki harapan saat terpeleset
dan melakukan dosa.” Ungkapan Ibnu Athailah ini adalah anjuran agar kita
benar-benar bersandar pada ridha Allah, bukan kepada pahala dan ganjaran yang
Allah akan berikan atas amal yang kita lakukan itu. Shalat, puasa, shadaqah,
beragam amal shalih. Kita benar-benar berharap akan kelembutan, kasih sayang
dan kemurahan Allah swt. Bukan pada amal-amal itu sendiri.
Bagaimana mendudukkan logika ini secara lebih terang?
Syaikh Al Buthi, saat menjelaskan ungkapan Ibnu Athailah itu menguraikan,”
Ketika Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya,
Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, Allah
swt menolong, membantu, memfasilitasi kita melakukan itu semua. Siapa yang
menjadikan kita mampu mendirikan shalat? Siapa yang menjadikan kita kuat
menahan lapar dan haus saat puasa? Siapa yang melapangkan hati kita untuk bisa
menerima keimanan? Siapa yang menjadikan kita mau dan sanggup melangkah lalu
mendatangi masjid untuk melakukan shalat berjamaah? Allah swt. Itu sebabnya,
Allah swt berfirman,”Mereka merasa telah memgeri nikmat kepadamu dengan
keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat
kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah
memberi nikmat kepadaku dengan keislaman, sebenarnya Allah, Dialah yang
melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu
adalah orang-orang yang benar.” (Q.S Alhujurat: 17)
Amal saja, bukan jaminan untuk masuk surga. Jadi, yang diminta dari kita
adalah melakukan ketaatan dengan perasaan sangat ingin mendapatkan ridha Allah
dan pahala dari Allah. Mengharap kemurahan Allah, ampunan-Nya, kelembutan Allah
swt kepada kita melalui amal-amal shalih yang dilakukan. Ada sandaran hadist
yang paling tepat (Hal-78) untuk
masalah ini. Rasulullah saw bersabda, “Amal takkan memasukkan seseorang kalian
ke dalam surga.” Sahabat bertanya, “Apakah termasuk engkau ya Rasulullah?”
Rasulullah saw menjawab, “termasuk aku, kecuali Allah meliputi ku dengan Kasih
Sayang-Nya.”
Saudaraku,
Salah satu ciri orang yang
mengandalkan amal dalam mengerjakan ketaatan, ketika ia sedikit harapannya
untuk bisa mendapatkan ampunan Allah swt saat melakukan kesalahan. Itu
sambungan perkataan Ibnu Athailah rahimahullah. Artinya, ketika
amal-amal yang kita lakukan sedikit, sementara kita juga melakukan dosa, hendaknya
kita tetap memohon, meminta dan berharap kepada Allah swt untuk terus memberi
ampunan. Tidak pesimis atas rahmat Allah swt.
Mari merenung saudaraku ....
Jangan sampai kita berkhayal dengan modal amal-amal shalih yang kita
lakukan di dunia ini, lalu kita telah menebus harga untuk berhak masuk surga. Sebab
ketika kita bersyukur secara lisan atas karunia Allah kepada kita, kita juga
harus bersyukur atas nikmat Allah yang menggerakkan lisan dan hati ini untuk
bersyukur. Jika kita berdiri shalat malam maka kita harus bersyukur memuji
Allah yang telah menolong dan membantu kita untuk bisa berdiri di hadapan-Nya,
di tengah malam. Andai bukan kerena kecintaan Allah kepada kita, andai bukan
karena pertolongan dan bantuan Allah kepada kita, andai bukan karena kebaikan
dan ke Maha Lembutan Allah kepada kita, kita takkan bisa melakukan itu semua.
Saudaraku,
Ada kisah seorang istri shalihat di zaman shalifushalih. Suatu
malam, sang suami bangun tengah malam dan melihat istrinya sedang shalat di
salah satu sudut rumahnya. Dalam shalat itu, ia mendengar ungkapan yang
diucapkan istrinya saat sujud. “Ya Allah sungguh aku memohon cinta-Mu kepadaku
untuk bisa membahagiakanku, menjadi aku sehat dan menjadikan aku mulia di
hadapan-Mu.... dan seterusnya.
Sang suami heran mendengar doa ini. Ia menunggu sampai istrinya selesai
shalat dan memanggilnya,”Mengapa engkau meminta seperti itu kepada Allah. Katakanlah:
Ya Allah dengan cintaku kepada-Mu, aku memohon kepada-Mu, agar membahagiakan
aku .... dan seterusnya. Istrinya menjawab:”Suamiku, andai bukan karena
cinta-Nya kepadaku, aku takkan sanggup di waktu seperti sekarang ini, andai
bukan karena cinta-Nya kepadaku, aku takkan bisa berdiri di hadapan-Nya
sekarang. Andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, akupun takkan bisa berucapkan
doa seperti tadi ...”
Saudaraku,
Seperti itulah ruh dari doa yang dikisahkan oleh Syaikh Al Bouthi bahwa
salah satu yang diajarkan ayahnya dalam doa adalah dengan mengatakan,”Ya Rabb,
aku bersyukur kepadamu, akan tetapi Engkaulah yang menginspirasikan aku untuk
bersyukur kepada-Mu. Maka syukurku kepada-Mu yang mengharuskan aku bersyukur
pula karena Engkau telah membantu untuk bisa bersyukur kepada-Mu. Engkaulah
pencipta segala sesuatu. Engkaulah Yang Maha Lembut kepadaku di setiap keadaan.”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar