Senin, 31 Agustus 2020

Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku

 

Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku[1][2]

 

(Hal-76) Seharusnya kita mengerti adanya perbedaan mendasar, antara bekerja dan menerima upah bekerja antara sesama manusia, dengan bekerja lalu menerima pahala antara manusia dan Allah swt. Sebagian orang rancu menganggap beramal atau bekerja dalam hubungan antar manusia, sama dengan beramal dalam hubungan dirinya dengan Allah swt.



Contohnya begini. Bila ada salah seorang kita bekerja dan berhak mendapatkan upah sebuah kebun. Apakah sama kondisinya, bila salah seorang kita beramal dan berhak mendapat balasan dari Allah swt berupa surga? Atau ungkapan sederhananya, apakah kita berhak mendapatkan balasan surga dari Allah swt karena amal-amal yang kita lakukan? Seperti kita berhak mendapatkan upah dari manusia karena pekerjaan yang kita lakukan.

(Hal-77) Saudaraku,

Jika itu bagian dari anggapan kita, berarti kita ungkapan dalam pikiran kita adalah, “Allah akan membalas pahala kepadaku, karena aku telah melakukan amal shalih sesuai perintah-Nya.” Dan bila itu yang terjadi, itulah yang dikatakan mengandalkan amal, bukan mengedepankan Allah swt saat kita beramal.

Mari kita kaji lebih jauh masalah ini. Para salafushalih memiliki pandangan yang begitu dalam tentang hubungan amal seseorang dengan harapan penuh kepada pahala yang akan Allah berikan kepadanya. Dalam kitab Al Hikam tulisan Ibnu Athailah misalnya, is mengatakan,”Termasuk tanda seseorang yang bersandar pada amalnya, adalah sikap kurang memiliki harapan saat terpeleset dan melakukan dosa.” Ungkapan Ibnu Athailah ini adalah anjuran agar kita benar-benar bersandar pada ridha Allah, bukan kepada pahala dan ganjaran yang Allah akan berikan atas amal yang kita lakukan itu. Shalat, puasa, shadaqah, beragam amal shalih. Kita benar-benar berharap akan kelembutan, kasih sayang dan kemurahan Allah swt. Bukan pada amal-amal itu sendiri.

Bagaimana mendudukkan logika ini secara lebih terang?

Syaikh Al Buthi, saat menjelaskan ungkapan Ibnu Athailah itu menguraikan,” Ketika Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, Allah swt menolong, membantu, memfasilitasi kita melakukan itu semua. Siapa yang menjadikan kita mampu mendirikan shalat? Siapa yang menjadikan kita kuat menahan lapar dan haus saat puasa? Siapa yang melapangkan hati kita untuk bisa menerima keimanan? Siapa yang menjadikan kita mau dan sanggup melangkah lalu mendatangi masjid untuk melakukan shalat berjamaah? Allah swt. Itu sebabnya, Allah swt berfirman,”Mereka merasa telah memgeri nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Q.S Alhujurat: 17)

Amal saja, bukan jaminan untuk masuk surga. Jadi, yang diminta dari kita adalah melakukan ketaatan dengan perasaan sangat ingin mendapatkan ridha Allah dan pahala dari Allah. Mengharap kemurahan Allah, ampunan-Nya, kelembutan Allah swt kepada kita melalui amal-amal shalih yang dilakukan. Ada sandaran hadist yang paling tepat (Hal-78) untuk masalah ini. Rasulullah saw bersabda, “Amal takkan memasukkan seseorang kalian ke dalam surga.” Sahabat bertanya, “Apakah termasuk engkau ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “termasuk aku, kecuali Allah meliputi ku dengan Kasih Sayang-Nya.”

Saudaraku,

Salah satu ciri orang  yang mengandalkan amal dalam mengerjakan ketaatan, ketika ia sedikit harapannya untuk bisa mendapatkan ampunan Allah swt saat melakukan kesalahan. Itu sambungan perkataan Ibnu Athailah rahimahullah. Artinya, ketika amal-amal yang kita lakukan sedikit, sementara kita juga melakukan dosa, hendaknya kita tetap memohon, meminta dan berharap kepada Allah swt untuk terus memberi ampunan. Tidak pesimis atas rahmat Allah swt.

Mari merenung saudaraku ....

Jangan sampai kita berkhayal dengan modal amal-amal shalih yang kita lakukan di dunia ini, lalu kita telah menebus harga untuk berhak masuk surga. Sebab ketika kita bersyukur secara lisan atas karunia Allah kepada kita, kita juga harus bersyukur atas nikmat Allah yang menggerakkan lisan dan hati ini untuk bersyukur. Jika kita berdiri shalat malam maka kita harus bersyukur memuji Allah yang telah menolong dan membantu kita untuk bisa berdiri di hadapan-Nya, di tengah malam. Andai bukan kerena kecintaan Allah kepada kita, andai bukan karena pertolongan dan bantuan Allah kepada kita, andai bukan karena kebaikan dan ke Maha Lembutan Allah kepada kita, kita takkan bisa melakukan itu semua.

Saudaraku,

Ada kisah seorang istri shalihat di zaman shalifushalih. Suatu malam, sang suami bangun tengah malam dan melihat istrinya sedang shalat di salah satu sudut rumahnya. Dalam shalat itu, ia mendengar ungkapan yang diucapkan istrinya saat sujud. “Ya Allah sungguh aku memohon cinta-Mu kepadaku untuk bisa membahagiakanku, menjadi aku sehat dan menjadikan aku mulia di hadapan-Mu.... dan seterusnya.

Sang suami heran mendengar doa ini. Ia menunggu sampai istrinya selesai shalat dan memanggilnya,”Mengapa engkau meminta seperti itu kepada Allah. Katakanlah: Ya Allah dengan cintaku kepada-Mu, aku memohon kepada-Mu, agar membahagiakan aku .... dan seterusnya. Istrinya menjawab:”Suamiku, andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, aku takkan sanggup di waktu seperti sekarang ini, andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, aku takkan bisa berdiri di hadapan-Nya sekarang. Andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, akupun takkan bisa berucapkan doa seperti tadi ...”

Saudaraku,

Seperti itulah ruh dari doa yang dikisahkan oleh Syaikh Al Bouthi bahwa salah satu yang diajarkan ayahnya dalam doa adalah dengan mengatakan,”Ya Rabb, aku bersyukur kepadamu, akan tetapi Engkaulah yang menginspirasikan aku untuk bersyukur kepada-Mu. Maka syukurku kepada-Mu yang mengharuskan aku bersyukur pula karena Engkau telah membantu untuk bisa bersyukur kepada-Mu. Engkaulah pencipta segala sesuatu. Engkaulah Yang Maha Lembut kepadaku di setiap keadaan.”***

 

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 240 Th.12, Dzulhijjah 1432H, 2 Desember 2010 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar